Inilah Kisah Seorang Serdadu VOC yang Tidak Mampu Menikahi Seorang Nyai

Jabodetabektoday.com , Jakarta -Serdadu dan pengawal rendahan VOC di Batavia sering kali tidak mampu menikahi perempuan Eropa atau berdarah campuran Indo-Eropa. Seorang ‘nyai’, perempuan pribumi, kemudian menjadi ’istri’ yang mengurus rumah tangga dan segala kebutuhan lelaki-lelaki Belanda itu.

Pada tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mendirikan dan mengembangkan angkatan bersenjata di Nusantara. Sejak saat itu, semakin banyak serdadu Belanda yang didatangkan ke Nusantara.

Lelaki-lelaki itu menandatangani kontrak dinas selama enam tahun. Sebagian besar di antara lelaki Belanda itu tidak beristri. Walau pun perempuan Indo-Eropa cantik-cantik, serdadu itu terlalu miskin untuk menikah dengan mereka.

Namun ketiadaan seorang istri tidak terlalu terasa. Sebab, di barak militer tempat serdadu-serdadu itu tinggal, budak-budak perempuan mengurus dan menyiapkan segala keperluan mereka.

Dalam waktu singkat, salah satu budak perempuan lantas diajak berumah tangga. Budak perempuan yang berumah tangga dengan tuannya itu lazim disebut ’nyai’.

Pada mulanya, nyai-nyai itulah yang dituduh sebagai biang keladi penyebaran penyakit siphilis ketika penyakit itu marak di Ibu Kota Hindia Belanda. Salah besar.

Rupanya, penyakit itu dibawa dan disebarkan oleh serdadu-serdadu ’sehat’ yang baru datang dari darataan Eropa.

Sejak tahun 1630, semua lelaki Belanda yang menikah dengan perempuan pribumi atau Indo-Eropa dilarang kembali ke Negeri Belanda (Nederland) bersama anak istrinya.

Karena itu, setelah masa dinas selama enam tahun, kebanyakan lelaki itu memutuskan untuk menetap di Hindia Belanda. Anak-anak yang lahir dari sebuah perkawinan campuran memperoleh status sebagai orang Eropa, seperti Papie-nya.

Orang kaya di Batavia dan tempat lain di Hindia Belanda mengirimkan anak lelaki mereka untuk belajar ke Negeri Belanda. Anak-anak perempuan tidak memperoleh kesempatan itu. Anak perempuan itu tidak dianggap perlu meneruskan pendidikannya.

Jodoh yang dianggap pantas biasanya adalah lelaki yang berpenghasilan besar. Sayangnya lelaki ‘berkantong tebal’ biasanya sudah berusia tua.

Tidak heran lagi melihat seorang perempuan bersanding dengan lelaki yang berusia 20-30 tahun lebih tua. Sayangnya atau untungnya, suami-suami yang tua itu biasanya lebih cepat meninggal dunia dibandingkan istrinya.

Seringkali sang istri adalah satu-satunya ahli waris yang ada. Nah, ramailah para jejaka mendekati dan merayu janda-janda muda Batavia yang kaya-raya itu.

Sosok nyai yang memberi ketenangan lahir batin kepada lelaki-lelaki Belanda di Nusantara mulai tersisih saat semakin banyak perempuan Belanda datang, setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1807.

Nyai, Bisa Dipulangkan Kapan Saja

Kemuculan nyai ketika para pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar abad ke-16. Terbatasnya perempuan Eropa yang ada saat itu, membuat para pegawai VOC dan penduduk laki-laki Eropa terpaksa mencari pasangan dari perempuan-perempuan lokal (pribumi).

Perempuan-perempuan itu tidak hanya mengurus rumah tangga, tapi juga tidur dengannya.

Mereka itulah yang selanjutnya disebut nyai. Meskipun kehidupan para nyai umumnya mapan dan dari segi materi memadai. Namun dalam status sosial, kehadirannya sering dianggap sebagai perempuan murahan karena tidak bisa mendapatkan status istri meski banyak di antara mereka telah memiliki anak dari hasil hubungan dengan majikannya.

Sering terjadi setelah melahirkan, nyai diperintahkan pergi atau dikirim kembali ke kampungnya, untuk memberi tempat buat perempuan Eropa.

Jadi pada masa kolonial, nyai berarti selir, gundik atau wanita piaraan para pejabat dan serdadu Belanda. Pergundikan itu tentu saja tidak direstui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sehingga tidak banyak dokumen yang menceritakan tentang masalah ini.

Meski begitu, pergundikan tetap bertahan kuat selama masa kolonial. Dari sedikit cerita, ada satu kejadian menarik yang melibatkan seorang nyai terjadi di Batavia pada tahun 1928.

Kejadian ini diceritakan dalam Koran Sin Poo. Berikut ceritanya:

Peristiwa malang itu menimpa S, seorang pegawai kotamadya yang sudah menikah dengan seorang perempuan Sunda dan bertempat tinggal di Gang Penghulu, Tanah Abang.

Kejadian megejutkan terjadi pada beberapa hari waktu berselang. Sekonyong-konyong, rumah S kedatangan seorang Belanda yang mengaku sebagai polisi.

Belanda itu mengatakan pada S bahwa perempuan Sunda yang dinikahinya adalah bekas nyai. Karenanya, pria Belanda itu mau ambil kembali perempuan tersebut.

Bila S tidak menyetujui permintaan pria Belanda itu maka bisa celaka. Bahka, pria tersebut mengancam S dengan revolver (pistol-Red). Akibatnya, S jadi ketakutan dan tinggal diam saja.

Akhirnya, pria Belanda itu dengan leluasa membawa pergi perempuan yang sudah dinikahi S.

Tampaknya, hal itulah yang terjadi pada sang nyai. Namun, ternyata setelah sang nyai pergi dan menikah lagi, si Belanda merasa kesepian.

Sehingga, pria Belanda itu mencarinya dan memutuskan untuk mengambil lagi miliknya, meskipun sudah dinikahi oleh orang lain.

Malangnya nasib si S, tak dapat berbuat apa-apa. Tidak berani melawan si Belanda yang punya revolver.

S yang dalam kondisi ketakutan tidak berani mengadukan perbuatan Belanda itu pada polisi.

Ia hanya bisa menuturkan kisah tersebut pada beberapa kenalan saja

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *